Indonesia negara kita terdiri dari kepulauan dari Sabang sampai
Merauke, dengan beragam suku dan budaya. Pernahkah kita berpikir, bagaimana
sulitnya untuk menyatukan keberagaman tersebut di tengah penjajahan kolonial
yang terus ingin memecah belah.Dengan Pancasila, dasar negara yang telah
dirumuskan para pendiri negeri,bangsa ini berhasil bersatu padu. Namun kini,
sebagai generasi muda bangsa Indonesia, apakah Pancasila masih memiliki makna
dalam kehidupan kita ?
Berdirinya Pancasila
Untuk dapat mengerti maknanya, kita harus mengerti bagaimana
eratnya hubungan Pancasila dengan sejarah bangsa ini. Perjuangan pemuda
Indonesia untuk meraih kemerdekaan menghantarkan bangsa ini pada sebuah titik
krusial. Sebelum mendirikan sebuah
negara merdeka, bangsa Indonesia harus menetapkan dasar negara yang
dapat menopang keragaman latar belakangnya. Pada saat perumusan dasar negara dalam
masa persidangan BPUPKI, hadir perwakilan dari berbagai golongan di Indonesia,
yaitu; golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat, golongan wakil
kerajaan, golongan pangreh praja (residen dan wakil, bupati, walikota),
serta golongan peranakan (Tionghoa, Arab, Belanda). Bahkan,
perwakilan wanita pun sudah ada dan ikut berperan dengan hadirnya
Ny. Maria
Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito.
Ternyata, persatuan dalam
keragaman telah mengakar jauh sebelum Indonesia
merdeka dan sepatutnya menjadi kebanggaan kita sebagai sebuah
bangsa. Betapa tidak, ketika Amerika Serikat berdebat mengenai hak suara
wanita, Indonesia sudah lebih dulu maju dan memberi wanita hak untuk bersuara
ketika mendirikan negara ini
di tahun 1945. Ketika negara-negara Eropa kebingungan mengenai
masalah
warga pendatang, negara ini telah memperhatikan keberadaan mereka
dari sejak pendiriannya.
Pancasila lahir
dari keberagaman.
Lahir dari upaya para pendiri bangsa menyarikan keseragaman dari
keberagaman karakter, hingga berkristalisir dalam 5 prinsip yang menjadi titik
temu segenap elemen bangsa; Kebangsaan Indonesia (kemudian menjadi sila
ke 3 :Persatuan Indonesia),Internasionalisme atau Perikemanusiaan (kemudian
menjadi sila ke 2: Perikemanusiaan yang adil dan beradab), Mufakat atau
demokrasi (kemudian menjadi sila ke 4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), Kesejahteraan Sosial (kemudian
menjadi sila 5: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia), dan Ketuhanan
yang Berkebudayaan (kemudian menjadi sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa).
Rasionalitas
Prinsip-prinsip dasar negara Indonesia yang merdeka yang
dirumuskan oleh para pendiri bangsa itu tidaklah dipungut begitu saja dari
udara. Juga bukan menganut ajaran dari manifesto komunis maupun declaration
of independence. Pancasila digali dari bumi sejarah ke- Indonesiaan yang
tingkat penggaliannya tidak berhenti sampai zaman gelap penjajahan, melainkan
menerobos jauh ke belakang hingga ke 2.000 tahun peradaban dan masa kejayaan
nusantara.
Kesejatian manusia
– sebagai makhluk individual dan sosial, memahami hakikat kemajemukan Indonesia
sebagai taman sari duni dan memperhatikan kecenderungan global dalam pergeseran
ideologi, akan menginsyafi relevansi Pancasila sebagai titik temu (common
denominator); bukan saja cocok sebagai kaidah emas bangsa Indonesia, namun juga
bisa menjadi pijakan bagi perumusan global ethics. Tak heran mengapa Presiden
Obama menyanjung Pancasila, dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi bagi
usaha reinventing Amerika. Generasi muda harus dapat membuka mata, bahwa tak
ada kemajuan tanpa keyakinan; dan keyakinan itu harus mengandung
dimensi-dimensi moral yang dapat menopang peradaban besar. Pancasila memenuhi
prasyarat untuk itu[1]p://siradel.blogspot.com/
BAB II
ETIKA
KOMUNIKASI PANCASILA
Pancasila adalah sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan
haluan bagi keselamatan bangsa. Bahkan Soekarno secara tegas melukiskan
Pancasila dalam pidatonya, “Pada hakekatnya satu alat
pemersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita
lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit,
terutama sekali, imperialisme!”Kelima sila menurut Soekarno, merupakan
unsur “meja statis” yang menopang bangsa Indonesia, sekaligus Leitstar
(bintang pimpinan) dinamis yang memandu perkembangan bangsa ke depan.
Soekarno pun telah menawarkan kemungkinan Pancasila untuk dapat dikerucutkan
menjadi Trisila, bahkan menjadi Ekasila sekalipun. Trisila yang disebutkan
yaitu socio-nationalisme,
socio-democratie, dan ketuhanan. Jika Trisila tersebut ingin
diperas hingga menjadi Ekasila, maka akan didapati sebuah
perkataan Indonesia tulen yaitu gotong-royong. Dengan kata lain, dapat kita
pahami bahwa setiap sila dalam Pancasila sesungguhnya harus dimaknai dalam
semangat gotong-royong.
Ketuhanannya harus berjiwa gotongroyong yang berkebudayaan, lapang, dan toleran, bukan saling menyerang dan mengucilkan.
Prinsip internasionalismenya harus berjiwa
gotong-royong yang berperikemanusiaan dan
berperikeadilan, bukan yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya
harus berjiwa gotongroyong mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, bukan
yang meniadakan perbedaan dan menolak persatuan.
Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong mengembangkan
musyawarah mufakat. Bukan demokrasi yang didikte suara mayoritas ataupun
minoritas elit. Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong, yang
mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat
kekeluargaan. Bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme
dan bukan juga sistem etatisme yang mengekang kebebasan
individu.
Penerapan Pancasila
Jika diaplikasikan dengan semangat gotong-royong, Pancasila
menjadi sebuah perspektif yang visioner dan tahan banting. Yang mampu
mengantisipasi dan merekonsiliasi semua poros perspektif kenegaraan dunia.
Bangsa Indonesia telah, secara jenius, meletakkan dasar untuk sebuah negara
yang paripurna (ideal) di awal
berdirinya.
Sayangnya, harus diakui bahwa bangsa kita kerap pandai memulai
namun gagal memelihara. Perhatikan apa yang terjadi di
negara ini sekarang. Mungkin kita bisa merenungkan
apa yang digambarkan Machiaveli dalam Hikayat Florentin tentang sebab-sebab merajalelanya korupsi.
1.
Pertama, para pemuka
negeri diperbudak negeri lain hingga negara tak
mampu membuat aturan secara leluasa untuk mengelola
urusan sendiri.
2.
Kedua, pemangku
kekuasaan dengan kekayaan berlebih nan tak bersih, melalui pundi pundi
keuangannya, bisa menundukkan moral publik di bawah pragmatisme sempit.
3.
Ketiga, kaum elit negeri hidup
dari popularitas dan penghasilan tinggi dari sedikit kerja. Mereka tak hanya
merusak negeri dan membuat iri dengki dengan pola dan gaya hidupnya, tetapi
juga memiliki pengikut yang membeo hingga membuat kebobrokan secara massal.
4.
Keempat, pemahaman agama berdasar
kemalasan dan bukan kesalehan, yang menekankan aspek ritual formal daripada esensi
ajaran, yang
memperindah tempat ibadah daripada membebaskan kaum dhuafa.
Apakah semua itu terdengar akrab di
telinga kita?
Semua permasalahan
bangsa saat ini,
sebenarnya bisa
dipecahkan dengan
Pancasila !”
Demokrasi
yang dijalankan kini justru memutar jarum jam ke belakang. Membawa kembali
Indonesia ke periode kelam saat terkungkung dalam hukum besi sejarah survival
of the fittest dan idol of the tribe. Kehilangan terbesar bangsa ini
bukanlah kemerosotan
pertumbuhan ekonomi atau tak adanya tokoh menonjol, melainkan kehilangan harga
diri karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah
hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan masa lalu dan berempati
terhadap sejarah pengorbanan para pejuang kemerdekaan negara kita.
Jika di lihat dari beberapa faktor merebaknya korupsi dinegeri
ini, apakah masih ada harapan mereformasi akhlak bangsa ini ?
Dekadensi moral tidak berdiri sendiri, tidak sekadar
mencerminkan buruknya moralitas masyarakat, melainkan dipengaruhi juga oleh
keburukan institusional dan struktural. Merajalelanya korupsi bukan saja
menunjukkan kegagalan sosialisasi nilai- nilai moralitas, melainkan juga
didorong oleh kesalahan desain institusi demokrasi yang menggelembungkan biaya
kekuasaan. Fenomena ini juga mencerminkan kegagalan negara kesejahteraan dalam
memberi kemakmuran seluas-luasnya seluruh rakyat, serta kegagalan pasar dalam
memperluas kesempatan kerja karena iklim berusaha yang tidak sehat. Ketika
warga negara tak menemukan jaminan kesejahteraan dari negara dan pasar, maka
jalur keselamatannya di tempuh melalui jalur kroni dan nepotisme yang memacu
korupsi. Alhasil, mereformasi akhlak bangsa ini harus mengintegrasikan
transformasi kultural, institusional dan struktural.
BAB III
TEORI ETIKA HEDONISME
MENGGELINCIRKAN NILAI HIDUP BERPANCASILA.
Budaya malu menghilang, korupsi dianggap kewajaran,
hampir setiap hari pemberitaan media cetak dan elektronik mengabarkan
bertambahnya tersangka korupsi. Seakan tidak ada sosok yang menjadi panutan
bagi kawula muda di tambah rongrongan budaya asing yang masuk ke negeri kita,
disaat generasi muda lebih menyukai negeri seberang, sedangkan Presiden Obama menyanjung Pancasila
karena dianggap Pancasila
menjadi pijakan bagi perumusan GLOBAL ETHICS, dan menjadikannya sebagai sumber
inspirasi bagi usaha reinventing Amerika. Generasi muda, pejabat negara, kepala
keluarga dan masyarakat pada umumnya harus dapat membuka mata, bahwa tak ada
kemajuan tanpa keyakinan; dan keyakinan itu harus mengandung dimensi-dimensi
moral yang dapat menopang peradaban besar.
Bagaimana
meningkatnya kasus korupsi padahal kita punya Pancasila sebagai dasar kita
berNegara. Pancasila lantas tergelincir menjadi alat negara untuk menyingkirkan
lawan –lawan politik. Dalam terang kesadaran baru, Pancasila harus dikembalikan
ke semangat dasarnya : gotong royong. Dengan begitu pendekatannya harus
bersifat horisontal, dengan melibatkan peran serta segenap komponen bangsa,
kami mencoba menghubungkan antara tingginya tingkat korupsi dengan teori etika
yang pernah dikemukakan dan berpengaruh terus sampai sekarang, yang akan
dibicarakan baik sistem etika dari zaman kuno maupun dari zaman modern.
1.
Hedo[2]nisme
adalah pandangan hidup yang menganggap
bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak
mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang
menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau
kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
CONTOH
KASUS HEDONISME
Disinyalir
Hedonisme telah erat merekat dalam hidup kita. Kelekatan itu berupa seringnya kita terjebak dalam
pola hidup Hedonis. Pola hidup
seperti ini mudah kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Dimana orientasi hidup selalu diarahkan pada
kenikmatan, kesenangan atau menghindari perasaan-perasaan tidak enak. Manusiawi
memang tatkala manusia hidup untuk mencari kesenangan, karena sifat dasar
manusia adalah ingin selalu bermain ( homo ludens - makhluk
bermain ) dan bermain adalah hal hakiki yang senantiasa dilakukan untuk
memperoleh kesenangan. Akan tetapi bukan berarti kita bisa dengan bebas
dan brutal mendapatkan kesenangan, hingga menghalalkan berbagai cara demi
memperoleh kesenangan.Sikap menghalalkan segala cara untuk memperoleh
kesenangan telah banyak menghinggapi pola hidup para remaja saat ini. Sebagai contohnya,remaja yang suka ML ( making
love-bercinta ) atas dasar senang-senang saja. Ternyata luar biasa infiltrasi
budaya liberal sehingga berhasil mencengkram.
Akutnya
krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa usaha ‘penyembuhan’ bangsa ini
perlu dilakukan dengan memperkuat kembali karakter bangsa berdasakan falsafah
dan pandangan bangsa Indonesia. Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang
sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar sejarah, ekosistem sosial
budaya, sistem pemaknaan dan pandangan dunianya sendiri.
Pancasila
dirumuskan oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntunan bernegara dengan
mempertimbangkan aspek-aspek itu lewat usaha penggalian, penyerapan,
kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang
keberlangsungan dan kejayaanbangsa.
Akibat
keteledoran, ketidaktaatan dan penyelewengan atas nilai nilai Pancasila,
terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila yang seharusnya menjadi ‘bintang
pimpinan’ itu pun redup, menimbulkan kegelapan dalam ‘rumah’ bangsa Indonesia.
Sehingga,
anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di
luar rumah, yang terlihat terang benderang. Padahal kunci jawaban itu tak lain, ada di dalam
‘rumah’ bangsa Indonesia itu sendiri. Semua permasalahan bangsa saat ini,
sebenarnya bisa dipecahkan dengan Pancasila. Yang diperlukan adalah menggali kembali
mutiara terpendam itu dan menyalakan kembali semangatnya, agar rumah Indonesia
kembali terang dan nyaman ditinggali oleh anak-anak negerinya[3].
Membahas
dasar negara kita dengan tuntas, dari mulai sejarah lahirnya, pemaknaannya
hingga aktualisasinya. Dengan membaca buku ini, kita kan dibuat mengerti sejak awal, memahami
secara mendalam sehingga terinspirasi untuk menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Tanggung jawab untuk
memahami Pancasila ada di setiap pundak manusia yang mengaku Indonesia.
Karena
itu sebagai generasi muda,yang akan memegang kendali negeri di masa depan,
selayaknya kita merenungkan bagaimana cara untuk menghidupkan kembali
Pancasila
sebagai panduan hidup berbangsa dan bernegara. Seperti potongan lirik lagu
kebangsaan kita, “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya...”
BAB IV
KESIMPULAN
Perlu ada perubahan paradigmatis dalam mengembangkan
Pancasila dan wawasan kebangsaan. Dimasa lalu, hal itu dikembangkan secara
vertikal : negara yang mengambil inisiatif negara yang menafsir dan negara yang
menatar. Pancasila lantas tergelincir menjadi alat negara untuk menyingkirkan
lawan – lawan politik. Dalam terang kesadaran baru, Pancasila harus
dikembalikan ke semangat dasarnya : gotong royong. Dengan begitu, pendekatannya
harus bersifat horisontal, dengan melibatkan peran serta segenap komponen bangsa.
Peran negara hanyalah fasilitasi, provisi dan koordinasi, seperti dirigen yang
mempertautkan segala keragaman suara menjadi koherensi yang harmonis.
Dengan kembali ke dasar negara, Pancasila sebagai
ideologi bangsa kita. Dengan mengamalkan nilai – nilai Pacasila yang dikemas
dengan kesederhanaan berfikir di hubungkan dengan kehidupan sehari –hari, yang
sajikan dengan cara yang menyenangkan menurut saya sikap Hedonisme sebagai
pintu masuk maraknya tindakan korupsi merajalela perlahan akan sirna.
Seperti Bung Karno katakan, seorang miskin yang kelaparan
tidak bisa seketika sadar hukum hanya dengan diberikan kitab konstitusi. Orang
miskin pertama memerlukan nasi. Maka dari itu sila yangling ditekankan dalam
Pancasila adalah sila Keadilan Sosial, yang dalam pembukaan UUD 1945 merupakan
satu-satunya sila yang diungkapkan dalam kata kerja, “mewujudkan keadilan bagi
seluruh bangsa Indonesia”.
Mem-Pancasila-Kan Indonesia, sebagai pengontrol
Hedonisme.
DAFTAR PUSTAKA
Diolah
dari: Buku
“Negara Paripurna: Historisitas,Rasionalitas dan Aktualitas” oleh Yudi Latif.
Essai
“Pancasila Rumah Kita” oleh Yudi Latif.
ETIKA, K.Berten Penerbit. PT. Gramedia Pustaka Utama –
Jakarta
Etika dan Filsafat Komunikasi, Muhamad Mufid. Kencana
Prenada Media Group.