Mendengar kata ”MENUNGGU”, apa yang pertama kali melintas dalam
pikiran?
Sebagian kita menjawab ”sesuatu yang membosankan, menjemukan,
menjengkelkan!”
Sebagian lain yang mencoba belajar bersikap bijak akan menjawab
”menguji kesabaran”.
Tapi coba perhatikan baik-baik, bukankah suka atau tidak suka,
sesungguhnya kita semua sering harus menjadi kaum penunggu?
Para
event organizer, pebisnis travel dan transportasi, utamanya bis wisata, mengisi
bulan puasa pun tak lebih hanyalah menunggu. Apa yang dilakukan kami-kami ini ?
Bagi bis pariwisata, saatnya tune-up kendaraan, mengganti
interior, mengecat ulang body kendaraan, merencanakan strategi pemasaran yang
lebih jitu, dst dll.
Dan bagi event organizer dan pebisnis travel, meski tidak libur
total, ada banyak waktu untuk me-review pekerjaan 11 bulan sebelumnya. Sejenak
bernafas sambil belajar ilmu-ilmu baru, yang sering tidak sempat dilakukan di
saat kehebohan di hari-hari normal lainnya.
Untuk seorang sales, marketing, dan sejenisnya, kata
”menunggu” sudah bukan lagi kata negatif yang meracuni pikiran. Setelah
seseorang membuat penawaran, mempresentasikan produk atau program yang
dijualnya, kemudian yang dilakukan adalah : menunggu. Dan pekerjaan menunggu
ini pun diisi dengan mencari prospek klien baru, membuat penawaran, dan
presentasi atau terlibat proses produksi. Adapun sisanya adalah untuk belajar
dengan aneka metode yang ’khas” dirinya. Saya sangat yakin, putaran proses
itulah yang terjadi dari bisnis terkecil hingga terbesar, di sektor usaha
apapun, tanpa kecuali.
Saat hendak naik bus kota atau kereta yang tak kunjung
datang, apa yang kita lakukan? Menengok samping kanan-kiri, menyapa jika
memungkinkan? Banyak diantaranya menemukan teman baru dalam perjalanan yang
akan memperluas cakrawala kita akan hidup. Bertemu banyak orang dengan berbagai
macam karakter dan sifat, adalah ajang paling efektif untuk belajar ilmu
psikologi dan menguji berbagai ilmu filsafat yang banyak ditulis di buku-buku
teori.
Atau dengan membaca buku? Pun adalah salah cara belajar
yang banyak dipraktekkan orang-orang hebat yang layak kita teladani. Kemajuan
sebuah negara bahkan bisa dilihat dari ”reading habit”-nya. Semakin maju sebuah
negara, judul buku yang beredar semakin banyak.
Buku Harry Potter dicetak sejumlah 40juta buku. Sementara
buku-buku best seller di Indonesia, hanya dicetak atau dibeli oleh 3.000-an
orang aja… Jadi untuk bisa membalap mereka, mestinya kita juga harus
meningkatkan budaya baca itu sendiri, yang adalah ciri-ciri dari negara-negara
maju…Maka, menunggu dengan membaca buku adalah cara cerdas mendorong kemajuan
bangsa, yang bisa diusahakan secara mandiri, sendiri! :)
Seorang penambal ban bisa saja menunggu waktu kedatangan
kliennya dengan menebarkan paku di sepanjang jalanan. Atau seorang politikus,
juga bisa menunggu kekuasaan/kedudukan yang diharapkannya dengan mengadakan
kampanye hitam untuk kompetitornya. Atau seorang pedagang, sibuk menggunakan
waktu menunggunya untuk menjelek-jelekkan kualitas produk pedagang lainnya.
Jelas itu semua bisa dianggap sebagai gugurnya mutu seseorang dalam sekujur
hidupnya.
Meminjam istilah Mas Prie GS, seorang budayawan yang
mengaku mempunyai tinggi badan kurang ideal dan merupakan salah satu tokoh
berpengaruh dalam mendorong keinginan saya belajar menulis adalah :
”terkait dengan caramu menunggu, disitulah
letak martabat hidupmu…”
Maka, setiap ada kesempatan menunggu, ingin saya bisa ”njawil” diri sendiri…”Hei, apa yang
sedang dan akan kau lakukan? Inilah saatnya membangun martabat diri. Sebuah
nilai yang mungkin penting di mata sesama. Tapi jauh lebih penting di hadapan
sang pemberi waktu.. Karena di sinilah manusia bisa menyatakan syukurnya atas
anugerah terbesar ialah : SANG WAKTU”.
dw