ABSTRAK
“Mohon
doa restunya, mohon doa dan dukungannya. Mohon doa restu, dukungan dan
pilihannya. Coblos no.1. Mohon... Mohon kira-kira itula sederetan kalimat
permohonan yang di sajikan pula janji – janji kampanye, para Caleg Pengemis
Suara Rakyat atau CPSR. Mereka jumlah ratusan disetiap Kotamadya – Kabupaten
bahkan Provinsi, dari tiap partai politik yang mengusung mereka semuanya
dilakukan dalam rangka memohon belas kasihan agar menyumbangkan suaranya pada
saat coblosan nanti. Bentuk visual permohonan CPSR pun beragam. Biasanya mereka
mengemis di bawah pohon, tiang telpon, listrik, dikolong jembatan “underpass
hingga flyover” hingga perapatan, pertigaan, lebih menyedihkan lagi hal yang sama
dilakukan hingga tempat pemakaman, pemukiman kumuh, pinggiran sungan hingga
pembuangan sampah.
Belum
selesai mengenai sosialisasi pencalonannya setelah menjabat sederet kasus mulai
bermunculan karena pejabat publik akan dinilai mulai dari kinerjanya, perbuatannya,
ucapan-ucapannya, gerak – gerik, mimik dan bahasa tubuhnya, yang mencerminkan
tumpuan masyarakat sebagai konsekuensi dari kepercayaan yang diberikan kepada
mereka. Etika berperan besar dalam hal
ini karena terkait dengan pemikiran sistematis tentang karakter, moralitas
serta tindakan –tindakan yang benar. Pemimpin akan menjadi acuan dalam
pelaksanaan nilai – nilai etik ini secara praktis, maka setiap perilaku yang
dikerjakan seorang pemimpin haruslan berngkat dari niat etik yang ada dalam dirinya
sebagai sebuah pertanggungjawaban moral dimana niat dan perbuatan ini harus
selaras bahwa mereka akan bertindak sesuai dengan apa yang mereka katakan.
Sebagaimana Mike Nelson (dalam Said, 2007 :330) yang menyatakan bahwa : “...
The ethical intention of leaders and theri real time behaviors mus be coheren; Leader must do as they say”.
Etika
bukan hanya sebagai etiket bermasyarakat, bahkan ada yang menafsirkan sebagai
kewajiban publik menghormati etika. Tidak salah, tapi tidak memperhatikan latar
belakang sejarah dan teori etika publik yang mulai serius dibahas setelah
skandal Watergate. Skandal itu memicu pengesahan The Ethics in Goverment Act of 1978, Sejak itu orang menggunakan
istilah “Etika Publik” bukan etika
pemerintahan” karena fokus pada pelayanan Publik, ini kemudian menjadi dasar
saya menulis Etika dan Estetika
Komunikasi Politik Lembaga Legislatif.
ETIKA KOMUNIKASI POLITIK LEMBAGA LEGISLATIF
Etika
sebagai pemandu (guideline) akan memberikan arah untuk tindakan mana yang benar
dan patut (proper) untuk dilakukan. Sedangkan Etika Publik diperlukan untuk
pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik. Konflik kepentingan, korupsi dan
birokrasi berbelit menyebabkan munculnya korupsi – kolusi dan nepotisme,
masalahnya bukan hanya teletak pada kualitas moral seseorang(jujur, adil,
fair), namun terutama pada sistem yang tidak kondusif. Sebetulnya banyak
pejabat legislatif, politisi yang jujur dan serius berjuang untuk kepentingan
rakyat.
Definisi Etika Publik dan Lingkupnya.
Dalam
buku Aristoteles Ethique Nicomaque yang berarti “Kualitas suatu sifat”
digunakan juga istilah “Ethos” yang berarti kebiasaan (H.G Liddell, A Greek –
English Lexicon, Oxford : Clarendon,1996), makna ethos adalah suatu cara
berpikir dan merasakan cara bertindak dan bertingkah laku yang memberi ciri
khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok.
Istilah yang kedua ini sesuai dengan terjemahan bahasa latin “moralis”
(mos, moris = adat, kebiasaan), istilah “moralis” kemudian menjadi istilah
teknis yanng tidak lagi berarti kebiasaan, tetapi mengandung makna “moral”
seperti digunakan pengertian sekarang.[1]
Etika
dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral. Paul Ricoeur
mendefinisikan “etika” sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang
lain di dalam institusi yang adil (1990).[2]
Etika
publik adalah refleksi tentang standar/ norma yang menentukan baik/ buruk,
benar/salah perilaku, tindakan, dan keputusan
untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung
jawab pelayanan publik, ada tiga fokus yang menjadi perhatian etika publik :
- Berbeda dengan etika politik, keprihatinan utama etika publik adalah pelayanan publik yang berkualitas dan relevan,
- Bukan hanya kode etik atau norma, tapi terutama dimensi reflekstifnya, ini berarti etika publik berfungsi sebagai bantuan dalam menimbang pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya; dan upaya politik, sosial budaya, dan kosekuensi etisnya; dan upaya politik, sosial, budaya, dan ekonomi dikatakan sesuai dengan standar etika bila mampu menciptakan institusi-institusi yang lebih adil
- Fokus pada modalitas etika, yaitu bagaimana menjembatani antar norma moral (apa yang seharusnya dilakukan) dan tidakan faktual.[3]
Kode
etik DPR, selanjutnya disebut kode etik adalah norma yang wajib dipatuhi oleh
setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan,
citra, dan kredibilitas DPR[4].
Kode
etik merupakan komitmen moral dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai
individu yang memiliki jiwa pengabdian kepada publik. Perhatian kepada
kepentingan publik dan tugas-tugas publik cukup banyak dilandaskan pada
prinsip-prinsip moral dibandingkan dengan perhatian pada hak individu atau
kewajiban pribadi (Dean Acheson dalam Thomson, 2002 :xviii). Publik akan
melihat sejauhmana prinsip – prinsip moral untuk menentukan pandangan apa yang
paling tepat bisa dianut oleh pejabat pemerintah. Dennis F.Thompson (dalam
Keban, 2008:165) Menyatakan bahwa skandal etika ini memang semakin meluas,
tidak saja disebabkan oleh semkin banyaknya aturan yang membatasi moral pejabat
tetapi juga oleh semakin banyaknya tuntutan publik agar pejabat publik harus
mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka tuntut[5].
INTEGRITAS POLITISI WAKIL RAKYAT DAN
PERMASALAHANYA
Dalam
buku yang diedit oleh Browman, dijelaksan bahwa kompetesni etis meliputi
manajemen nilai, pengembangan moral dan penalaran moral, moralitas publik dan
pribadi serta etika organisasi (2010:28). Keterampilan etika yang dibutuhkan
dalam pelayanan publik menekankan empat hal :
1. Tingkat
kesadaran penalaran moral sebagi dasar pengambilan keputusan yang etis.2. Kemampuan memahami etika sebagai sarana dalam menghadapi konflik,
3. Kemampuan menolak perilaku yang berlawanan dengan etika,
4. Mampu menerapkan teori-teori etika (2010:28).
Tuntutan
yang pertama, tingkat kesadaran moral berkembang berkat pengaruh pendidikan
keluarga, sekolah dan lingkungan. Sedangkan tiga tuntutan terakhir bisa
dipelajari, dilatih dan dibiasakan. Setiap orang akan berekasi secara berbeda
menghadapi dilema moral. Penalarannya menunjukkan tingkat kesadaran moral
seseorang. Dasar pengambilan keputusan bisa dinilai atas dasar acuannya:
kepentingan diri, keluarga, teman dekat, kepentingan kelompok, kepentingan umum,
atau bersedia berkorban untuk kepentingan bersama. Semakin tinggi tingkat
kesadran moral, semakin peduli kesejahteraan bersama yang diukur dari kemampuan
menghadapi dilema moral.
Kasus I :
Sebagai
pejabat departemen pendidikan, saya mendapatkan informasi tentang beasiswa tiga
orang untuk mengambil S3 di Universitas Amerika. Saya hanya memberitahu teman
se-alumni. Apakah dengan tidak mengumbumkan informasi ini, saya telah merugikan
orang lain dan berlaku tidak adil ?
Menolak
tindakan tidak etis biasanya membawa dilema: dianggap tidak memiliki esprit de
corps, tidak solider, atau itdak tahu diri karena jabatan itu diperoleh berkat
dukungan sesama alumni. Dalam kebijakan publik pertimbangan etika sering harus
berhadapan dengan tekanan sosial atau politik. Maka sebagai bagian transprasnsi
sebelum menerima jabatan, pejabat publik harus diminta membuat pernyataan
tertulis tentang hubungan-hubungan yang berisiko yang bisa memwawa ke konflik
kepentingan.
Kasus II :
Badan
kehormatan DPR RI menyatakan 4 anggota DPR RI terbukti melakukan pelanggaran
etika karena melakukan pertemuan diluar gedung DPR RI. Setelah dilakukan
verfikasi terhadap laporan Menteri BUMN – Dahlan Iskan adanya anggota dewan
yang meminta upeti kepada Perusahaan Negara.
Namun
setelah melakukan pemeriksaan Badan Kehormatan DPR RI tidak mendapatkan cukup
bukti yang menguatkan laporan Menteri Negar BUMN. Tidak
ada saksi dan bukti.
Karena
tingginya ongkos politik dan anggota DPR RI adalah perwakilan partai di
Indonesia mengakibatkan anggota DPR RI melanggar etika guna melayani konstituen
mereka serta dipihak lain harus melayani pula kepentingan publik, disisi lain
kebutuhan menggantikan ongkos politik dan untuk membiayai gaya hidup menjadi
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, sehingga untuk menilai tanggung jawab
etis dari seorang pejabat publik mengalami kondisi yang ambigu.
Kasus III :
Belum
selesai juga kasus Nazaruddin (Bendahara partai Demokrat), Anggelina Sondakh
(DPR RI), Sutan Bhatoegana (DPR RI), Fuad Amin (DPRD Bangkalan), Luthfi Hasan Ishak
(PKS), Surya Dharma Ali (PPP), dan masih banyak lagi kasus akibat
penyalahgunaan jabatan.
Pertengahan
2008 ini masyarakat Indonesia dihebohkan oleh terungkapnya sejumlah kasus
korupsi, yang melibatkan banyak anggota DPR RI para anggota dewan ini secara
“Berjamaah” menerima suap dari berbagai kalangan, yang menginginkan agar
kepentingan mereka diakomodir, didukung dan digolkan lewan produk undang-undang
oleh anggota DPR.
Maklum
berbeda dengan zaman orde baru, dimana anggota DPR kalah pengaruh oleh eksekutif,
di era reformasi ini anggota DPR berperan cukup signifikan. Merkea dapat
menshakan rancangan undang-undang (yang dampaknya bisa menguntungkan/ merugikan
pihak tertentu), atau menyetujui/ menolak usulan pengangkatan pejabat negara
tertentu.
Contohnya
seorang anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, Agus Condro Prayitno, belum lama
ini terang-terangan mengaku telah menerima uang Rp. 500 Juta, sebagai imbalan
atas dukungan pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia.
Agus
mengklaim, banyak temanya sesama anggota DPR RI di Komisi IX juga telah
menerima uang suap. Total uang yang digelontorkan untuk menyuap puluhan anggota
DPR ini mencapai puluhan Miliar Rupiah. Kasusnya kini mulai ditangani KPK[6].
Fenomena
“korupsi berjamaah” di berbagai tingkatan, dan kasusu-kasus konkret seperti
tersebut di atas, mendorong penulis untuk mengangkatnya menjadi suatu
permasalahan, yang akan dibahas dari aspek etika.
PEMBAHASAN
Melihat
contoh kasus pada bab sebelumnya, saya menyoroti Kasus III perilaku “Korupsi
Berjamaah” dilingkungan DPR RI itu menimbulkan sejumlah pertanyaan. Sperti
bagaimana sebenarnya etika, moral dan hati nurani para anggota DPR RI itu yang
notabene bukanlah orang sembarangan, sehingga mereka sampai hati menerima suap
dan mengkhianati kepercayaan rakyat terhadapnya ?[7]
Ironi
disetiap pemilu atau pilkada ialah, disatu sisi, situasi politik tampak
bergairah penuh dinamika, disisi lain, banyak orang skeptis apakah persitiwa
itu akan berdampak pada nasib mereka. Orang melihat pilkada lebih sebagai salah
satu ritual sosial daripada momen politik untuk mengubah nasib atau
memperjuangkan cita-cita. Reaksi seperti itu bisa dipahami meski sekaligus
menujukkan rendahnya tingkat kepecayaan masyarakat terhadap pemerintah dan
politisi. Setelah pilkada, orang tidak terlalu percaya bahwa kebutuhan dan
keprihatinan mereka akan lebih diperhatikan oleh wakil rakyat atau pemerintah.
Begitu skeptisnya sikap terhadap politik sampai orang sudah tidak peduli apakah
wakil rakyat bekerja sungguh untuk memperjuangkan aspirasi mereka atau tidak.
Integritas
publik yang terungkap dalam konsisten sikap etisnya bukan hanya masalah
pengetahuan dan kemampuan penalran moral, tapi juga pembiasaan diri melakukan
yang baik. Ketika memiliki kompetensi eknis dan leadership yang memadai
memungkinkan untuk memperkecil resiko menghadapi dilema- dilema etis yang tidak
perlu. Kompetensi etis dan leadership memberikan informasi yang memadai bagi
pejabat publik untuk bisa mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan etika
publik maka penting menurut J.S Bowman memenuhi tuntutan.
Maka
kekuasaan diharapkan persuasif, bisa mendekati orang dan membuat orang mudah
menaruh kepercayaan. Jadi keterampilan negosiasi, hubungan dengan stake holder
dan kemampuan memcahkan konflik sangat menentukan keberhasilan kepemimpinannya.
Bagian kompetensi leadership yang sering diabaikan ialah institutional
knoledge, yaitu pengethauan tentang budaya organisasi, prosedur yang harus
dijalankan, kesadaran akan rutinitas institusi dan penanaman identitas
kolektif.
Hubungan
antara kompetensi teknik, etika dan leadership sering dirumuskan dalam bentuk
dilema antara hasil dan proses. Tujuan utamanya agar terbentuk sistem yang
luwes dan memapu menjawab kebutuhan berkat adanya keleluasaan bagi penilaian
manajemen (P.Bishop, 2003 : 12).
Kode
etik merupakan komtmen moral dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai
individu yang memiliki jiwa pengabdian kepada publik. Perhatian kepada
kepentingan publik dan tugas- tugas publik cukup banyak dilandaskan pada
prinsip – prinsip moral dibandingkan dengan perhatian pada hak individu atau
kewajiban pribadi (Dean Acheson dalam Thompson, 2002:xviiii) Publik akan
melihat sejauhmana prinsip – prinsip
moral untuk menentukan pandangan apa yang paling tepat bisa dianut oleh pejabat
pemerintah. Dennis F.Thompson (dalam keban, 2008:165) menyatakan bahwa skandal
etika ini memang semakin meluas, tidak saja disebabkan oleh semakin banyaknya
aturan yang membatasi moral pejabat tetapi juga oleh semakin banyaknya tuntutan
publik agar pejabat publik harus mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka
tuntut.[9]
Konflik-
konflik etis yang dihadapi pejabat publik muncul dari dua ciri umum jabatan
pemerintahan, yaitu sifat representasional artinya mereka memiliki hak dan kewajiban
demi kepentingan warga negara yang diwakilinya, dengan kata lain mereka
bertindak untuk kita. Kedua, adalah sifat organisasionalnya, dimana mereka
bertindak bagi pewakilan dari mana mereka berasal (kelompok pendukung) artinya
mereka akan bertindak dengan orang lain. Jadi dalam tugasnya, pejabat publik
adalah melayani konstituen mereka serta di pihak lain harus melayani pula
kepentingan masyarakat (publik). Sehingga untuk meilai tanggung jawab etis dari
seorang pejabat publik mengalmai kondisi yang ambigu. Dimana satu sisi para
pejabat tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan yang dimiliki
oleh semua warga negara, sehingga mereka akan dinilai oleh prinsip yang sama
yang mengatur semua hubungan moral sementara di sisi lain, karena pejabat bertindak
bersama-sama dengan banyak pejabat lain dalam sebuah organisasi maka publik akan mengalami
kesulitan untuk meminta tanggung jawab moral tersebut. Hal ini terlihat dalam
penanganan kasus korupsi misalnya, tidak semua pihak yant terkait dengan kejahatan
tersebut mendapatkan hukuman setimpal.
Etika
dapat menjadi suatu faktor yang menyukseskan tetapi disisi lain dapat memicu
kegagalan tujuan kebijakan publik. Kualitas kebijakan akan berkorelasi dengan
tingkat moralitas pembuat kebijakan. Begitupun untuk menjalankan sebuah
manajemen publik yang baik membutuhkan keniscayaan moralitas atau etika dari
para pihak yang terlibat dalam proses tersebut mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi serta hasil akhirnya. Dengan kata lain, tingkat moralitas
atau etika para pejabat publik akan mempengaruhi pencapain hasil.
Dalam
konteks administrasi publik etika merupakan sebuah filsafat dan profesional
standards (kode etik) atau moral atau right rules of conduct (aturan
berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan public
atau adminstrator publik (Denhardt, 1988 dalam keban 2008: 168) dalam
prakteknya para pejabat publik akan melakukan sebuah diskresi kewenangan dalam
beragam wujud mulai dari pengelolaan sumber daya organisasi publiknya,
bagaimana berhubungan dengan pemberian pelayanan bagi masyarakat serta dalam
pembuatan kebijakan.[10]
Apa kata saya ?
Dalam
kasus korupsi berjamaah, apakah para pelaku sudah menganggap kasus ini selesai
(meskipun banyak diantara anggota DPR RI yang terlibat tidak dikenakan tindakan
hukum), apakah mereka masih akan melakukan korupsi baru dimasa depan, manakala
ada peluang, atau situasi memungkinkan ?
Tentunya
kita sulit mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, yang bisa kita analisa
disini anggota DPR RI itu tampaknya sudah “melangkahi” sejumlah tahapan yang dituliskan oleh Browman, dijelaksan bahwa kompetensi etis
meliputi manajemen nilai, pengembangan moral dan penalaran moral, moralitas
publik dan pribadi serta etika organisasi (2010:28).
Tahapan
– tahapan itu adalah, bahwa dengan menerima suap atau melakukan korupsi mereka
telah :
1. Mengingkari
janji atau berbohong kepada rakyat/ konstituen dalam kampanye pemili sebelumnya
(2004), bahwa mereka akan membela kepentingan rakyat, dan tidak akan mendahulukan
kepentingan pribadi.2. Melanggar komitmen oral partai politik, untuk mengedepankan politik yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Meskipun mungkin komtmen partai ini dalam prakteknya bersifat basa-basi, secara normatif dan dalam program resmi yang tertulis dan dikampanyekkan, setiap partai politik mengkaim akan serius mendukung gerakan anti korupsi.
3. Melanggar peraturan kelembagaan yang berlaku di lembaga tinggi negara (parlemen), bahwa anggota DPR tidak boleh menerima suap.
4. Melanggar sumpah kepada Tuhan, bahwa mereka akan menjalankan amanat sebagai anggota DPR RI dengan sebaik-baiknya. Sumpah jabatan itu mereka bacakan ketika mereka dilantik sebagai anggota DPR tahun 20014.
5. Melanggar ajaran agama yang mereka anut, yang secara tegas mengharamkan korupsi, suap dan berbagai penyimpangan keuangan lainnya.
Memang
sudah menjadi rahasia umum setelah terpilih biasanya janji-janji itu tidak
meninggalkan jejak lagi, tanpa bisa dituntut pertanggungjawaban. Masalahnya
ialah karena disatu pihak, tidak ada sanksi yang mengikat atau alasan yang bisa
memperkarakan mereka. Di lain pihak, pemilu yang hanya lima tahun sekali itu
sulit dipakai sebagai mekanisme yang efektif untuk memberi sanksi. Memang,
harus diakui masih banyak politisi yang sebetulnya mempunyai keprihatinan
mendalam untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, namun mereka tenggelam
karena bagi media jenis politisi semacam ini munkin kurang memiliki nilai
berita. Celakanya, mereka itu malahan sering tersingkir oleh mesin partai
politiknya sendiri. Loyalitas kepada partai dianggap lebih penging daripada
prestasi sebagai legislator. Oleh karena itu kalau mau memberi penilaian
seharusnya lebih ditekankan bukan pada popularitas dan vokalnya wakil rakyat,
namun pada akuntabilitas karena akan lebih obyektif untuk mengukur komitmen dan
tanggung jawab politisi.
Jelas
sekali bahwa etika sangat diperlukan untuk mendorong terciptanya akuntabilitas
birokrasi para pejabat publik. Etika sangat diperlukan untuk melakukan check and balance atas kinerja para
pejabat publik. Etika juga dapat digunakan untuk mengontrol perilaku pejabat
publik dan bahkan mengarhkan organisasi pelayanan publikuntuk mengutakan
nilai-nilai kepentingan publik di atas kepentingan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Haryatmoko, 2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI
Yogyakarta
Sinambela, LP,DKK. 2006. Reformasi pelayanan publik;
Teori kebijakan dan implementasi penerbit PT.Bumi Aksara.Jakarta.
www.dpr.go.id/tentang/kode-etik
Thompson, DF. 2002. Etika politik Pejabat Negara Penerbit
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Kompas, 29 September 2008, hlm8. Uang suap diberikan
dalam bentuk traveler cheque, yang masing masing bernilai 50 juta. Atas
permintaan KPK, Ditjen Imigrasi telah mencekal tiga pengusaha, yaitu Andi
Kasih, Hidayat Lukman dan Budi Santoso, yang dianggap terlibat dan mengetahui
penyaluran cek untuk para anggota DPR-RI.
Damanhuri, DS. 2006. Korupsi,Reformasi Birokrasi dan Masa
Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis
Adminsitrasi Publik : Konesp, Teori dan Isu, Yogyakarta: Gava Media.
Matondang, H & Bachrum siregar. 2005. Materi Pokok
Etika Birokrasi. Pusdiklat Pegawai Bandiklat Keuangan Departemen Keuangan
Republik Indonesia.
Sa’id Mas’ud M. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis;
makna, masalah dan dekonstruksi birokrasi Indonesia, Malang: UMM Press.
[1]
Haryatmoko, 2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI Yogyakarta
[2]
Sinambela, LP,DKK. 2006. Reformasi pelayanan publik; Teori kebijakan dan
implementasi penerbit PT.Bumi Aksara.Jakarta.
[3]
Haryatmoko, 2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI Yogyakarta
[4]
www.dpr.go.id/tentang/kode-etik
[5]
Thompson, DF. 2002. Etika politik Pejabat Negara Penerbit Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta
[6] Kompas,
29 September 2008, hlm8. Uang suap diberikan dalam bentuk traveler cheque, yang
masing masing bernilai 50 juta. Atas permintaan KPK, Ditjen Imigrasi telah
mencekal tiga pengusaha, yaitu Andi Kasih, Hidayat Lukman dan Budi Santoso,
yang dianggap terlibat dan mengetahui penyaluran cek untuk para anggota DPR-RI.
[7]Matondang, H & Bachrum siregar.
2005. Materi Pokok Etika Birokrasi. Pusdiklat Pegawai Bandiklat Keuangan
Departemen Keuangan Republik Indonesia.
[8] Haryatmoko,
2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI Yogyakarta
[9] Said,
mas’ud M. 2007 Birokrasi di Negara Birokratis: Makna, Masalah dan Dekonstruksi
Birokrasi Indonesia. Malang: UMM Press.
[10]
Damanhuri, DS. 2006.
Korupsi,Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit
FE-UI. Jakarta.