Laman

Etika Komunikasi Legislatif


ABSTRAK
“Mohon doa restunya, mohon doa dan dukungannya. Mohon doa restu, dukungan dan pilihannya. Coblos no.1. Mohon... Mohon kira-kira itula sederetan kalimat permohonan yang di sajikan pula janji – janji kampanye, para Caleg Pengemis Suara Rakyat atau CPSR. Mereka jumlah ratusan disetiap Kotamadya – Kabupaten bahkan Provinsi, dari tiap partai politik yang mengusung mereka semuanya dilakukan dalam rangka memohon belas kasihan agar menyumbangkan suaranya pada saat coblosan nanti. Bentuk visual permohonan CPSR pun beragam. Biasanya mereka mengemis di bawah pohon, tiang telpon, listrik, dikolong jembatan “underpass hingga flyover” hingga perapatan, pertigaan, lebih menyedihkan lagi hal yang sama dilakukan hingga tempat pemakaman, pemukiman kumuh, pinggiran sungan hingga pembuangan sampah.

Belum selesai mengenai sosialisasi pencalonannya setelah menjabat sederet kasus mulai bermunculan karena pejabat publik akan dinilai mulai dari kinerjanya, perbuatannya, ucapan-ucapannya, gerak – gerik, mimik dan bahasa tubuhnya, yang mencerminkan tumpuan masyarakat sebagai konsekuensi dari kepercayaan yang diberikan kepada mereka.  Etika berperan besar dalam hal ini karena terkait dengan pemikiran sistematis tentang karakter, moralitas serta tindakan –tindakan yang benar. Pemimpin akan menjadi acuan dalam pelaksanaan nilai – nilai etik ini secara praktis, maka setiap perilaku yang dikerjakan seorang pemimpin haruslan berngkat dari niat etik yang ada dalam dirinya sebagai sebuah pertanggungjawaban moral dimana niat dan perbuatan ini harus selaras bahwa mereka akan bertindak sesuai dengan apa yang mereka katakan. Sebagaimana Mike Nelson (dalam Said, 2007 :330) yang menyatakan bahwa : “... The ethical intention of leaders and theri real time behaviors mus be coheren; Leader must do as they say”.

Etika bukan hanya sebagai etiket bermasyarakat, bahkan ada yang menafsirkan sebagai kewajiban publik menghormati etika. Tidak salah, tapi tidak memperhatikan latar belakang sejarah dan teori etika publik yang mulai serius dibahas setelah skandal Watergate. Skandal itu memicu pengesahan The Ethics in Goverment Act of 1978, Sejak itu orang menggunakan istilah “Etika Publik” bukan etika pemerintahan” karena fokus pada pelayanan Publik, ini kemudian menjadi dasar saya menulis Etika dan Estetika Komunikasi Politik Lembaga Legislatif.



ETIKA KOMUNIKASI POLITIK LEMBAGA LEGISLATIF

Etika sebagai pemandu (guideline) akan memberikan arah untuk tindakan mana yang benar dan patut (proper) untuk dilakukan. Sedangkan Etika Publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik. Konflik kepentingan, korupsi dan birokrasi berbelit menyebabkan munculnya korupsi – kolusi dan nepotisme, masalahnya bukan hanya teletak pada kualitas moral seseorang(jujur, adil, fair), namun terutama pada sistem yang tidak kondusif. Sebetulnya banyak pejabat legislatif, politisi yang jujur dan serius berjuang untuk kepentingan rakyat.

Definisi Etika Publik dan Lingkupnya.

Dalam buku Aristoteles Ethique Nicomaque yang berarti “Kualitas suatu sifat” digunakan juga istilah “Ethos” yang berarti kebiasaan (H.G Liddell, A Greek – English Lexicon, Oxford : Clarendon,1996), makna ethos adalah suatu cara berpikir dan merasakan cara bertindak dan bertingkah laku yang memberi ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok.  Istilah yang kedua ini sesuai dengan terjemahan bahasa latin “moralis” (mos, moris = adat, kebiasaan), istilah “moralis” kemudian menjadi istilah teknis yanng tidak lagi berarti kebiasaan, tetapi mengandung makna “moral” seperti digunakan pengertian sekarang.[1]

Etika dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral. Paul Ricoeur mendefinisikan “etika” sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil (1990).[2]

Etika publik adalah refleksi tentang standar/ norma yang menentukan baik/ buruk, benar/salah perilaku, tindakan, dan keputusan  untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik, ada tiga fokus yang menjadi perhatian etika publik :
  1. Berbeda dengan etika politik, keprihatinan utama etika publik adalah pelayanan publik yang berkualitas dan relevan,
  2. Bukan hanya kode etik atau norma, tapi terutama dimensi reflekstifnya, ini berarti etika publik berfungsi sebagai bantuan dalam menimbang pilihan sarana kebijakan publik dan alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya; dan upaya politik, sosial budaya, dan kosekuensi etisnya; dan upaya politik, sosial, budaya, dan ekonomi dikatakan sesuai dengan standar etika bila mampu menciptakan institusi-institusi yang lebih adil
  3. Fokus pada modalitas etika, yaitu bagaimana menjembatani antar norma moral (apa yang seharusnya dilakukan) dan tidakan faktual.[3]
Kode etik DPR, selanjutnya disebut kode etik adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR[4].

Kode etik merupakan komitmen moral dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai individu yang memiliki jiwa pengabdian kepada publik. Perhatian kepada kepentingan publik dan tugas-tugas publik cukup banyak dilandaskan pada prinsip-prinsip moral dibandingkan dengan perhatian pada hak individu atau kewajiban pribadi (Dean Acheson dalam Thomson, 2002 :xviii). Publik akan melihat sejauhmana prinsip – prinsip moral untuk menentukan pandangan apa yang paling tepat bisa dianut oleh pejabat pemerintah. Dennis F.Thompson (dalam Keban, 2008:165) Menyatakan bahwa skandal etika ini memang semakin meluas, tidak saja disebabkan oleh semkin banyaknya aturan yang membatasi moral pejabat tetapi juga oleh semakin banyaknya tuntutan publik agar pejabat publik harus mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka tuntut[5].




INTEGRITAS POLITISI WAKIL RAKYAT DAN PERMASALAHANYA

Dalam buku yang diedit oleh Browman, dijelaksan bahwa kompetesni etis meliputi manajemen nilai, pengembangan moral dan penalaran moral, moralitas publik dan pribadi serta etika organisasi (2010:28). Keterampilan etika yang dibutuhkan dalam pelayanan publik menekankan empat hal :
1.    Tingkat kesadaran penalaran moral sebagi dasar pengambilan keputusan yang etis.
2.    Kemampuan memahami etika sebagai sarana dalam menghadapi konflik,
3.    Kemampuan menolak perilaku yang berlawanan dengan etika,
4.    Mampu menerapkan teori-teori etika (2010:28). 
 
Tuntutan yang pertama, tingkat kesadaran moral berkembang berkat pengaruh pendidikan keluarga, sekolah dan lingkungan. Sedangkan tiga tuntutan terakhir bisa dipelajari, dilatih dan dibiasakan. Setiap orang akan berekasi secara berbeda menghadapi dilema moral. Penalarannya menunjukkan tingkat kesadaran moral seseorang. Dasar pengambilan keputusan bisa dinilai atas dasar acuannya: kepentingan diri, keluarga, teman dekat, kepentingan kelompok, kepentingan umum, atau bersedia berkorban untuk kepentingan bersama. Semakin tinggi tingkat kesadran moral, semakin peduli kesejahteraan bersama yang diukur dari kemampuan menghadapi dilema moral.

Kasus I :
Sebagai pejabat departemen pendidikan, saya mendapatkan informasi tentang beasiswa tiga orang untuk mengambil S3 di Universitas Amerika. Saya hanya memberitahu teman se-alumni. Apakah dengan tidak mengumbumkan informasi ini, saya telah merugikan orang lain dan berlaku tidak adil ?

Menolak tindakan tidak etis biasanya membawa dilema: dianggap tidak memiliki esprit de corps, tidak solider, atau itdak tahu diri karena jabatan itu diperoleh berkat dukungan sesama alumni. Dalam kebijakan publik pertimbangan etika sering harus berhadapan dengan tekanan sosial atau politik. Maka sebagai bagian transprasnsi sebelum menerima jabatan, pejabat publik harus diminta membuat pernyataan tertulis tentang hubungan-hubungan yang berisiko yang bisa memwawa ke konflik kepentingan.

Kasus II :
Badan kehormatan DPR RI menyatakan 4 anggota DPR RI terbukti melakukan pelanggaran etika karena melakukan pertemuan diluar gedung DPR RI. Setelah dilakukan verfikasi terhadap laporan Menteri BUMN – Dahlan Iskan adanya anggota dewan yang meminta upeti kepada Perusahaan Negara.

Namun setelah melakukan pemeriksaan Badan Kehormatan DPR RI tidak mendapatkan cukup bukti yang menguatkan laporan Menteri Negar BUMN. Tidak ada saksi dan bukti.
Karena tingginya ongkos politik dan anggota DPR RI adalah perwakilan partai di Indonesia mengakibatkan anggota DPR RI melanggar etika guna melayani konstituen mereka serta dipihak lain harus melayani pula kepentingan publik, disisi lain kebutuhan menggantikan ongkos politik dan untuk membiayai gaya hidup menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, sehingga untuk menilai tanggung jawab etis dari seorang pejabat publik mengalami kondisi yang ambigu.

Kasus III :
Belum selesai juga kasus Nazaruddin (Bendahara partai Demokrat), Anggelina Sondakh (DPR RI), Sutan Bhatoegana (DPR RI), Fuad Amin (DPRD Bangkalan), Luthfi Hasan Ishak (PKS), Surya Dharma Ali (PPP), dan masih banyak lagi kasus akibat penyalahgunaan jabatan.
Pertengahan 2008 ini masyarakat Indonesia dihebohkan oleh terungkapnya sejumlah kasus korupsi, yang melibatkan banyak anggota DPR RI para anggota dewan ini secara “Berjamaah” menerima suap dari berbagai kalangan, yang menginginkan agar kepentingan mereka diakomodir, didukung dan digolkan lewan produk undang-undang oleh anggota DPR.

Maklum berbeda dengan zaman orde baru, dimana anggota DPR kalah pengaruh oleh eksekutif, di era reformasi ini anggota DPR berperan cukup signifikan. Merkea dapat menshakan rancangan undang-undang (yang dampaknya bisa menguntungkan/ merugikan pihak tertentu), atau menyetujui/ menolak usulan pengangkatan pejabat negara tertentu.
Contohnya seorang anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, Agus Condro Prayitno, belum lama ini terang-terangan mengaku telah menerima uang Rp. 500 Juta, sebagai imbalan atas dukungan pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Agus mengklaim, banyak temanya sesama anggota DPR RI di Komisi IX juga telah menerima uang suap. Total uang yang digelontorkan untuk menyuap puluhan anggota DPR ini mencapai puluhan Miliar Rupiah. Kasusnya kini mulai ditangani KPK[6].

Fenomena “korupsi berjamaah” di berbagai tingkatan, dan kasusu-kasus konkret seperti tersebut di atas, mendorong penulis untuk mengangkatnya menjadi suatu permasalahan, yang akan dibahas dari aspek etika.



PEMBAHASAN
Melihat contoh kasus pada bab sebelumnya, saya menyoroti Kasus III perilaku “Korupsi Berjamaah” dilingkungan DPR RI itu menimbulkan sejumlah pertanyaan. Sperti bagaimana sebenarnya etika, moral dan hati nurani para anggota DPR RI itu yang notabene bukanlah orang sembarangan, sehingga mereka sampai hati menerima suap dan mengkhianati kepercayaan rakyat terhadapnya ?[7]

Ironi disetiap pemilu atau pilkada ialah, disatu sisi, situasi politik tampak bergairah penuh dinamika, disisi lain, banyak orang skeptis apakah persitiwa itu akan berdampak pada nasib mereka. Orang melihat pilkada lebih sebagai salah satu ritual sosial daripada momen politik untuk mengubah nasib atau memperjuangkan cita-cita. Reaksi seperti itu bisa dipahami meski sekaligus menujukkan rendahnya tingkat kepecayaan masyarakat terhadap pemerintah dan politisi. Setelah pilkada, orang tidak terlalu percaya bahwa kebutuhan dan keprihatinan mereka akan lebih diperhatikan oleh wakil rakyat atau pemerintah. Begitu skeptisnya sikap terhadap politik sampai orang sudah tidak peduli apakah wakil rakyat bekerja sungguh untuk memperjuangkan aspirasi mereka atau tidak.

Integritas publik yang terungkap dalam konsisten sikap etisnya bukan hanya masalah pengetahuan dan kemampuan penalran moral, tapi juga pembiasaan diri melakukan yang baik. Ketika memiliki kompetensi eknis dan leadership yang memadai memungkinkan untuk memperkecil resiko menghadapi dilema- dilema etis yang tidak perlu. Kompetensi etis dan leadership memberikan informasi yang memadai bagi pejabat publik untuk bisa mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan etika publik maka penting menurut J.S Bowman memenuhi tuntutan. 

Maka kekuasaan diharapkan persuasif, bisa mendekati orang dan membuat orang mudah menaruh kepercayaan. Jadi keterampilan negosiasi, hubungan dengan stake holder dan kemampuan memcahkan konflik sangat menentukan keberhasilan kepemimpinannya. Bagian kompetensi leadership yang sering diabaikan ialah institutional knoledge, yaitu pengethauan tentang budaya organisasi, prosedur yang harus dijalankan, kesadaran akan rutinitas institusi dan penanaman identitas kolektif.


Hubungan antara kompetensi teknik, etika dan leadership sering dirumuskan dalam bentuk dilema antara hasil dan proses. Tujuan utamanya agar terbentuk sistem yang luwes dan memapu menjawab kebutuhan berkat adanya keleluasaan bagi penilaian manajemen (P.Bishop, 2003 : 12).

Kode etik merupakan komtmen moral dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai individu yang memiliki jiwa pengabdian kepada publik. Perhatian kepada kepentingan publik dan tugas- tugas publik cukup banyak dilandaskan pada prinsip – prinsip moral dibandingkan dengan perhatian pada hak individu atau kewajiban pribadi (Dean Acheson dalam Thompson, 2002:xviiii) Publik akan melihat  sejauhmana prinsip – prinsip moral untuk menentukan pandangan apa yang paling tepat bisa dianut oleh pejabat pemerintah. Dennis F.Thompson (dalam keban, 2008:165) menyatakan bahwa skandal etika ini memang semakin meluas, tidak saja disebabkan oleh semakin banyaknya aturan yang membatasi moral pejabat tetapi juga oleh semakin banyaknya tuntutan publik agar pejabat publik harus mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka tuntut.[9]

Konflik- konflik etis yang dihadapi pejabat publik muncul dari dua ciri umum jabatan pemerintahan, yaitu sifat representasional artinya mereka memiliki hak dan kewajiban demi kepentingan warga negara yang diwakilinya, dengan kata lain mereka bertindak untuk kita. Kedua, adalah sifat organisasionalnya, dimana mereka bertindak bagi pewakilan dari mana mereka berasal (kelompok pendukung) artinya mereka akan bertindak dengan orang lain. Jadi dalam tugasnya, pejabat publik adalah melayani konstituen mereka serta di pihak lain harus melayani pula kepentingan masyarakat (publik). Sehingga untuk meilai tanggung jawab etis dari seorang pejabat publik mengalmai kondisi yang ambigu. Dimana satu sisi para pejabat tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan yang dimiliki oleh semua warga negara, sehingga mereka akan dinilai oleh prinsip yang sama yang mengatur semua hubungan moral sementara di sisi lain, karena pejabat bertindak bersama-sama dengan banyak pejabat lain dalam sebuah  organisasi maka publik akan mengalami kesulitan untuk meminta tanggung jawab moral tersebut. Hal ini terlihat dalam penanganan kasus korupsi misalnya, tidak semua pihak yant terkait dengan kejahatan tersebut mendapatkan hukuman setimpal.

Etika dapat menjadi suatu faktor yang menyukseskan tetapi disisi lain dapat memicu kegagalan tujuan kebijakan publik. Kualitas kebijakan akan berkorelasi dengan tingkat moralitas pembuat kebijakan. Begitupun untuk menjalankan sebuah manajemen publik yang baik membutuhkan keniscayaan moralitas atau etika dari para pihak yang terlibat dalam proses tersebut mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta hasil akhirnya. Dengan kata lain, tingkat moralitas atau etika para pejabat publik akan mempengaruhi pencapain hasil.

Dalam konteks administrasi publik etika merupakan sebuah filsafat dan profesional standards (kode etik) atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan public atau adminstrator publik (Denhardt, 1988 dalam keban 2008: 168) dalam prakteknya para pejabat publik akan melakukan sebuah diskresi kewenangan dalam beragam wujud mulai dari pengelolaan sumber daya organisasi publiknya, bagaimana berhubungan dengan pemberian pelayanan bagi masyarakat serta dalam pembuatan kebijakan.[10]

Apa kata saya ?

Dalam kasus korupsi berjamaah, apakah para pelaku sudah menganggap kasus ini selesai (meskipun banyak diantara anggota DPR RI yang terlibat tidak dikenakan tindakan hukum), apakah mereka masih akan melakukan korupsi baru dimasa depan, manakala ada peluang, atau situasi memungkinkan ?

Tentunya kita sulit mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, yang bisa kita analisa disini anggota DPR RI itu tampaknya sudah “melangkahi” sejumlah tahapan  yang dituliskan oleh  Browman, dijelaksan bahwa kompetensi etis meliputi manajemen nilai, pengembangan moral dan penalaran moral, moralitas publik dan pribadi serta etika organisasi (2010:28). 

Tahapan – tahapan itu adalah, bahwa dengan menerima suap atau melakukan korupsi mereka telah :
1.    Mengingkari janji atau berbohong kepada rakyat/ konstituen dalam kampanye pemili sebelumnya (2004), bahwa mereka akan membela kepentingan rakyat, dan tidak akan mendahulukan kepentingan pribadi.
2.    Melanggar komitmen oral partai politik, untuk mengedepankan politik yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Meskipun mungkin komtmen partai ini dalam prakteknya bersifat basa-basi, secara normatif dan dalam program resmi yang tertulis dan dikampanyekkan, setiap partai politik mengkaim akan serius mendukung gerakan anti korupsi.
3.    Melanggar peraturan kelembagaan yang berlaku di lembaga tinggi negara (parlemen), bahwa anggota DPR tidak boleh menerima suap.
4.    Melanggar sumpah kepada Tuhan, bahwa mereka akan menjalankan amanat sebagai anggota DPR RI dengan sebaik-baiknya. Sumpah jabatan itu mereka bacakan ketika mereka dilantik sebagai anggota DPR tahun 20014.
5.    Melanggar ajaran agama yang mereka anut, yang secara tegas mengharamkan korupsi, suap dan berbagai penyimpangan keuangan lainnya.

Memang sudah menjadi rahasia umum setelah terpilih biasanya janji-janji itu tidak meninggalkan jejak lagi, tanpa bisa dituntut pertanggungjawaban. Masalahnya ialah karena disatu pihak, tidak ada sanksi yang mengikat atau alasan yang bisa memperkarakan mereka. Di lain pihak, pemilu yang hanya lima tahun sekali itu sulit dipakai sebagai mekanisme yang efektif untuk memberi sanksi. Memang, harus diakui masih banyak politisi yang sebetulnya mempunyai keprihatinan mendalam untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, namun mereka tenggelam karena bagi media jenis politisi semacam ini munkin kurang memiliki nilai berita. Celakanya, mereka itu malahan sering tersingkir oleh mesin partai politiknya sendiri. Loyalitas kepada partai dianggap lebih penging daripada prestasi sebagai legislator. Oleh karena itu kalau mau memberi penilaian seharusnya lebih ditekankan bukan pada popularitas dan vokalnya wakil rakyat, namun pada akuntabilitas karena akan lebih obyektif untuk mengukur komitmen dan tanggung jawab politisi.

Jelas sekali bahwa etika sangat diperlukan untuk mendorong terciptanya akuntabilitas birokrasi para pejabat publik. Etika sangat diperlukan untuk melakukan check and balance atas kinerja para pejabat publik. Etika juga dapat digunakan untuk mengontrol perilaku pejabat publik dan bahkan mengarhkan organisasi pelayanan publikuntuk mengutakan nilai-nilai kepentingan publik di atas kepentingan lainnya.



DAFTAR PUSTAKA

Haryatmoko, 2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI Yogyakarta
Sinambela, LP,DKK. 2006. Reformasi pelayanan publik; Teori kebijakan dan implementasi penerbit PT.Bumi Aksara.Jakarta.
www.dpr.go.id/tentang/kode-etik
Thompson, DF. 2002. Etika politik Pejabat Negara Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Kompas, 29 September 2008, hlm8. Uang suap diberikan dalam bentuk traveler cheque, yang masing masing bernilai 50 juta. Atas permintaan KPK, Ditjen Imigrasi telah mencekal tiga pengusaha, yaitu Andi Kasih, Hidayat Lukman dan Budi Santoso, yang dianggap terlibat dan mengetahui penyaluran cek untuk para anggota DPR-RI.
Damanhuri, DS. 2006. Korupsi,Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Adminsitrasi Publik : Konesp, Teori dan Isu, Yogyakarta: Gava Media.
Matondang, H & Bachrum siregar. 2005. Materi Pokok Etika Birokrasi. Pusdiklat Pegawai Bandiklat Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Sa’id Mas’ud M. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis; makna, masalah dan dekonstruksi birokrasi Indonesia, Malang: UMM Press.


[1] Haryatmoko, 2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI Yogyakarta
[2] Sinambela, LP,DKK. 2006. Reformasi pelayanan publik; Teori kebijakan dan implementasi penerbit PT.Bumi Aksara.Jakarta.
[3] Haryatmoko, 2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI Yogyakarta
[4] www.dpr.go.id/tentang/kode-etik
[5] Thompson, DF. 2002. Etika politik Pejabat Negara Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
[6] Kompas, 29 September 2008, hlm8. Uang suap diberikan dalam bentuk traveler cheque, yang masing masing bernilai 50 juta. Atas permintaan KPK, Ditjen Imigrasi telah mencekal tiga pengusaha, yaitu Andi Kasih, Hidayat Lukman dan Budi Santoso, yang dianggap terlibat dan mengetahui penyaluran cek untuk para anggota DPR-RI.
[7]Matondang, H & Bachrum siregar. 2005. Materi Pokok Etika Birokrasi. Pusdiklat Pegawai Bandiklat Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

[8] Haryatmoko, 2015, Etika Publik Penerbit PT. Kanisius, DI Yogyakarta

[9] Said, mas’ud M. 2007 Birokrasi di Negara Birokratis: Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia. Malang: UMM Press.
[10] Damanhuri, DS. 2006. Korupsi,Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.

eksisna

About eksisna

Komitmen, pengetahuan, pengalaman dan kepedulian kami siap memfasilitasi demi tercapainya tujuan dari tiap-tiap individu yang mempercayakan kepada kami.

Subscribe to this Blog via Email :